Maraknya isu-isu nikah mut’ah atau yang biasa disebut kawin kontrak semakin ramai dibicarakan khalayak. Terutama tentang hukum kawin kontrak dalam pandangan sunni dan syiah.
Buku ini mencoba menguak kembali soal legitimasi nikah mut’ah, dengan menlakukan perbandingan perspektif Sunni dan Syi’ah Imamiyah. Di dalamnya dipaparkan secara rinci argumentasi masing-masing pihak dalam membela pendapatnya.
Menurut Sunni, nikah mut’ah ini haram hukumnya, dan keharamannya bersumber dari lisan Rasulullah sendiri melalui al-Qur’an dan haditsnya pada peristiwa Fathu Makkah (Pneaklukan Kota Makkah). Kaum Sunni meambahkan, alasan logis nikah mut’ah diharamkan adalah bahwa nikah ini hanya didasari sebagai legalisasi hasrat seksual semata, dan tujuan tersebut tidak jau berbeda dengan perzinaan yang diharamkan al-Qur’an. Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah nikah mut’ah tetap berlaku keabsyahannya dan kehalalannya sampai hari Kiamat, dan Rasulullah tidak pernah melarangnya seperti yang disengketakan oleh ulama Sunni. Mereka juga menambahkan bahwa dalam nikah mut;ah ada masa iddah, mahar, iiab-qabul, ketentuan waktu dan selainnya yang kesemuanya itu tidak terdapat pada hubungan kelamin dengan cara zina.
Sebenarnya, latar belakang perbedaan sudut pandang kedua madzhab dalam memahami dasar hokum nikah mut’ah adalah penafsiran surat an-Nisa ayat 24. Kalangan Sunni mendakwakan ayat tersebut berkenaan dengan nikah permanen (da’im) karena ayat tersebut menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dan haram untuk dinikahi. Sementara itu, ulama mazhab Syiah Imamiyah mendakwakan bahwa surat al-Mu’minuun ayat 5-7 yang menjadi acuan hokum bagi ulama Sunni untuk me-nasakh-kan nikah mut’ah adalah menyalahi kaidah naasihk wa mansukh, karena surat an-Nisa ayat 24 adalah Madaniyyah, sedangkan surat al-Mu’minuun ayat 5-7 adalah surat Makkiyah. kawin kontrak sunni syiah.
Poisi penulis dalam buku ini sekilas nampak netral, tidak membela salah satu dari Sunni ataupun Syiah Imamiyah. Ia hanya memberikan saran-saran bagaimnaa menyikapi nikah mut’ah untuk kedua kaum tersebut. Tapi menurut saya, tidak dibenarkan memposisikan diri sebagai netral dalam dua persoalan yang sudah jelas kita pahami baik buruknya. Jika nikah mut’ah menurut penulis haram, kenapa masih mendukungnya secara diam-diam? Wallahu a’lam.
Posting Komentar