A. Biografi tentang Imam Syafi’i
1. Nama Lengkap dan Nasab
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Stafi’I bin As-Saib bin ‘Ubaid bin Abdi Yazid bin Abdul Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin bin Killab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib.
Beliau sangat terkenal dengan sebutan Imam Syafi’i serta memiliki nama kunyah yaitu Abu Abdillah. Jika ditinjau dari segi nasab, Imam Syafi’i mempunyai hubungan nasab yang masih bersambung dengan Nabi Muhammad SAW, yang mana nasabnya bertemu dengan kakek Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Muthalib bin Abdi manaf.
Sehingga nasab Imam Syafi’i bermuara pada Abdu Manaf kakek kakek cicit Nabi Muhammad saw. Dan Abdul-Muthalib adalah saudara bagi Hasyim ayahnya Abdul Muthholib cicit Nabi Muhammad saw. Imam Syafi’i termasuk dalam golongan suku Quraisy.
Imam Syafi’i lahir dari rahim seorang ibu yang salehah dari kaum Azdi, serta dari ayah yang terkenal kesabaran dan keikhlasannya. Nama ibu Imam Syafi’i adalah Fatimah binti Abdullah bin Hussin bin Ali bin Abu Talib. Ayah Imam Syafi’I bernama Idris, Idris menikah dengan Fatimah binti Ubaidillah
2. Sejarah Kelahiran Imam Syafi’i
Meskipun berasal dari keturunan Quraisy di mekkah Imam Syafi’i tidak lahir di Mekkah, karena ayahnya Idris sedang merantau di Palestina. Sehingga Imam Syafi’i Rahimahullah lahir di Ghaza-Palestina, tahun 150 H, [1] yang mana ditahun tersebut bertepatan dengan wafatnya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsaabit Al-Kuufi ra, bahkan ada pendapat yang menyatakan di hari wafatnya Al-Imam Abu Hanifah.[2]
Ketika Imam Syafi’i masih berumur 2 tahun beliau telah ditinggal wafat oleh ayahnya, sehingga ibunya membawanya kembali ke kampung halaman aslinya, yaitu Mekkah Al-Mukarromah, karena saat itu ibunya khawatir untuk tinggal di Gaza atas faktor keadaan di sana, maka ia tumbuh dan berkembang di kota Mekkah dalam pengawasan dan tarbiyah ibunya.
3. Masa belajar Imam Syafi’i
Sejak kecil, telah tampak dari Imam Syafi’i kecerdasan dan kejeniusannya diatas dari anak-anak seusianya, mempunyai hafalan yang cepat dan kuat, pandai berbahasa Arab dan sastra, maka tidak heran beliau menjadi imam besar di zamannya. Beliau menghafalkan Alquran tatkala berusia 7 tahun, dan menghafal kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik tatkala umur beliau 10 tahun. Ini menunjukkan betapa cerdasnya Imam Asy-Syafii.
Namun, Imam Asy-Syafi’i dibesarkan dalam kondisi yatim dan fakir, hidup diatas bantuan keluarganya dari kafilah kaum Quraisy, namun bantuan yang ia dapatkan sangat minim, tidak cukup untuk membayar guru yang bisa membimbing tahfiz Alquran serta dasar-dasar membaca dan menulis namun karena sang guru melihat kecerdasannya serta kecepatan hafalannya, maka dibebaskan dari biaya.[3]
Perjalanan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu
1. Kota Mekkah adalah kota pertama tempat beliau tuju untuk menuntut ilmu. Di kota kekek moyangnya tersebut ia berguru dari ulama dan mufiti besar di sana, di antara guru sang imam di Mekkah yaitu Muslim Ibnu Khalid Az-Zanji yang merupakan salah seorang ahli Fikih Mekah dan beliau juga merupakan pembesar Tabi’u Tabi’in yang wafat pada tahun 179 H. Dan beliau juga belajar kepada Imam-Imam yang ada di Mekka seperti Daud Ibnu Abdurraman Al-‘Athar, Sufyan Ibnu ‘Uyaynah, Sa’id bin Salim, dan fudhail bin ‘Iyadh.
2. Ketika menginjak umur 13 tahun, yakni tepatnya pada tahun 163 H, Imam Syafi’i berangkat ke Madinah Munawwarah untuk berguru kepada Imam Malik. Beliau merupakan salah seorang ulama hadist sekaligus pakar fikih di Madinah yang wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali setelah wafatnya Imam Malik.
3. Kemudian Imam Syafii pergi ke Yaman, disana ia belajar fikih dari Umar bin Abu Salmah.
4. Pada tahun 184 H, Imam Syafi’i berangkat ke Iraq untuk diadili oleh Harun Al Rasyid atas tuduhan pemberontakan terhadap Khilafah Abbasiyah. Namun akhirnya beliau dibebaskan atas rekomendasi Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani yang merupakan murid terbaik dari Imam Abu Hanifah yang pada saat itu menempati posisi Qadhi pada pemerintahan Abbasiyah. Setelah dibebaskan dari tuduhan tersebut, beliau menetap di Baghdad dan beliau berguru kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tentang Fikih Hanafi atau Mazhab Ahli Ra’I sampai beliau wafat.
5. Setelah wafatnya Muhammad bin Hasan pada tahun 189 H, Imam Syafi’I meninggalkan kota Baghdad menuju kota Makkah untuk mengajar, berfatwa dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji selama 9 tahun. Pada saat itulah beliau mulai merintis Mazhab sendiri yang berbeda dengan kedua gurunya yaitu Imam Malik dan Muhammad bin Hasan.
6. Setelah menetap selama 6 tahun di Makkah, Imam Syafi’i meninggalkan Tanah Suci dan kembali menuju Baghdad pada tahun 195 H dan bermukim disana selam beberapa bulan . Tujuan beliau kembali lagi ke Baghdad adalah untuk mengembangkan dan menyebar luaskan mazhabnya. Selama berada di Baghdad, beliau berhasil menulis kitab dalam bidang Usul Fikih yang berjudul al-Risalah dan dalam bidang fikih yang berjudul al-Hujjah atau yang lebih dikenal dengan mazhab Qadim. Beberapa murid beliau di Baghdad adalah Imam Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur al-Kalbi, Abu Ali al-Karabisi, dan Hasan al-za’farani.
7. Pada tahun 199 H, Imam Syafi’i berangkat menuju Mesir untuk menyebar luaskan mazhabnya serta menetap di sana, mengajar, berfatwa, mengarang, dan mengajarkan murid-muridnya. Beberapa murid beliau selama berada di Mesir adalah Abu Yaqub al-Buwaithi, Ismail al-Muzani, dan Rabi’ al-Muradi.
Beliau wafat pada tahun 204 H. Tepatnya ia wafat pada tanggal 20 Januari 820 M (29 Rajab 204 H) dan dimakamkan di pemakaman Bani Abd.[4]
Imam Syafi’i memiliki istri bernama Hamidah binti Nafi’ bin Unaisah bin Amru bin Ustman bin Affan. Dari pernikahan tersebut Imam Syafii dikaruniai tiga orang anak, yang bernama: Abu Ustman Muhammad ( ia seorang hakim di kota Halib, Syam/Syiria), Fathimah dan Zainab.
B. Sumbangsih Ilmu Imam Syafi’i Terhadap Peradaban Dunia
Melalui pengalaman dan perjalanan yang jauh serta modal ilmu pengetahuan yang sangat luas dan mendalam terhadap fikih dari berbagai Guru-guru mulai dari Mekkah sampi Madinah kemudian Yaman kemudian dan Irak. Beliau menyusun kaidah-kaidah untuk menjadi mazhab baru dari dua aliran yaitu Fiqh dan Hadis[5]
a. Imam Syafi’i dianggap sebagai pelopor ilmu usul fiqh dan pengasa Mazhab Syafi’i, jika dilihat ari segi urutan Ulama’ Imam Syafi’I merupakan Imam ketiga dari empat orang Imam yang masyhur (Hanbali, Maliki, ).
Imam Syafi’i meupakan pemersatu semua Imam karena keluasan pengetahuan serta pemikirannya dlam menghadapi masalah yang berkaitan dengan ilmu serta hukum-hukum fikih. Beliau menyempurnakan permasalahannya dan menempatkannya pada posisi yang yang tepat dan sesuai serta, Beliau dapat merumuskan suatu rumusan tentang hukum yang lebih matang dan dapat diterima oleh ramai masyarakat Islam.
b. Sumbangan Imam as-Syafi’i dalam bidang hadis dapat dirujuk kepada beberapa kitab terutama kitab al-Risalah, Ikhtilaf al-Hadith, Musnad as-Syafie dan Sunan as-Syafie. Imam Syafi’i meggunakan Alquran sebagi pegangan dan Hadis sebagai petunjuk bagi nash-nashnya, perinci (mufassil) globalnya (mujmal) pembatas (muqayyid) pengkhususan (mukhasis) keumumannya (amm). Meskipun berupa khabar ahad. Ia berpegang pada khabar ahad selama perawinya thiqah (terpercaya) dan adil. Ia tidak mensyaratkan kemasyhuran pada khabar yang menyangkut hal-hal yang menjadikan kebutuhan publik. Sebagaimana yang dikatakan imam Abu Hanifah, juga tidak harus sesuai dengan perbuatan penduduk Madinah seperti yang dikatakan Imam Malik. Imam Asy-Syafii hanya mensyaratkan keshahihan sanad. [7]
c. Imam Syafi’i juga menymbangkan ilmu Tasawuf, beliau belajar ilmu Tasawuf melalui dua zaman yaitu awal hidup beliau sebelum pindah ke mesir, serta di mesir, selepas beliau pergi ke mesir beliau mengeluarkan kata-kata Sufi dan kebaikan dalam tasawuf, sehingga semasa tersebut beliau dilapurka oleh ilmu Tasawuf
d. Setelah Alquran dan Hadis, Imam Asy-Syafi’i berhujjah dengan ijmak, kemudian dengan pendapat sahabat dengan memilih yang terdekat maknanya kepada Alquran dan Hadis. Jika ia tidak melihat adanya kedekatan ini, maka ia berpegang pada ucapan khulafaur rasyidun dan men-tatjihnya (mengunggulkannya) atas pendapat sahabat lain, kemudian setelah itu berhujjah dengan kias.
Inilah dasar hukum yang dipakai Imam Asy-Syafii, ia mengkritik istihsan sebagai salah satu dalil yang tidak disepakati, sebagaimana dinyatakan dalam kitab karyanya Ibtalul istihsan. Metode ini adalah metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Imam Syafii selalu tampil dengan penolakan yang sangat tegas terhadap istihsan sebagai dalil hukum, dan menilainya sebagai penetapan syariat dengan hawa nafsu. Sebagaimana ia mengingkari maslahah mursalah yang dijadikan dalil dasar hukum oleh imam Malik.
Imam Syafii menegaskan bahwa tidak seorangpun boleh berbicara halal dan haram kecuali berdasarkan ilmu (min jihah al-ilm) yaitu berupa kabar dari kitab, hadis, ijmak atau kias. Dari penegasan ini diketahui bahwa hanya empat dalil inilah yang benar-benar sebagai landasan hukum.[8]
e. Karya-karya Imam Syafi’i:
a) Ar-Risalah Al-Qadim (Al-Kitab Al Hujjah) dan Ar-Risalah Al- Jaddidah
b) Ikhtilaf Al-Hadits
c) Ibthal Al-Istihsan
d) Ahkam Al-Qur’an
e) Bayadh Al-Fardh
f) Sifat Al-Amr Wa Nahyi
g) Ikhtilaf Al-Malik wa Syafi’i
h) Ikhtilaf Al-Iraqiyin
i) Ikhtilaf Muhammad bin Husain
j) Fadhail Al-Quraisy
k) Kitab Al Umm
l) Kitab Al Sunan
Kitab Ar-Risalah dikenal oleh ulama sebagai kitab pertama yang membicarakan tentng ilmu Ushul-Fiqh dan juga sebagai kitab pertama yang mengandung pembahsan tentang ilmu Ulumu-Hadits. Kitab ini adalah kitab pertama yang membahas mengenai ilmu Mukhalif Al-Hadits. Kitab ini secara jelas mmbincangkan tentang hadits yang bersanggah antara satu dengan yang lainnya. Namun dapat diselesaikan melalui kaedah Jama’, kaedah Tarjih, atau kaedah Naskh.
Demikian biografi singkat Imam Syafií beserta sumbangsihnya terhadap peradaban dunia.
Footnote:
[1] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), Hal 101.
[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000), Hal 89.
[3] Syaikh Muhammad Hasan Al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, M. Khlaid Muslih dan Imam Awaluddin,(Jakarta: Pustaka : Al Kautsar, 2008), Hal 61.
[4] Teguh Pramono, 100 Muslim Terhebat Sepanjang Masa, (Yokyakarta: Diva Press, 2013), Hal 284.
[5] Lahmuddin, Nasution, Pembaharuan Hukum Islam Dalam Mazhab Syafii, (Bandung: PT. Remaja rosadakarya, 2001), Hal 22.
[6] MustofaMuhammad Asy Syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, A. M. Basmalah… Hal 349.
[7] Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah; Mengenal Syariah Islam Lebih Dalam, M. Misbah, (Jakarta: Robbani Press, 2008), Hal 212-213.
[8] Lahmuddin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafii, (Bandung; PT, Remaja
Rosdakarya, 2001), Hal 63.
————————
Artikel ini ditulis oleh: Alifka Humayrah, Mahasiswi PBA UNIDA Gontor
Posting Komentar