Buku : Kritik Terhadap Studi Al-Qur’an Kaun Liberal
Penulis :
Fahmi Salim
Penerbit :
Perspektif Kelompok Gema Insani, Jakarta
Cetakan :
Pertama, 2010
Tebal :
xx +520 halaman
Penulis : Hasbi Arijal, M.Ag.
Permasalahan
mendasar para penggiat hermeneutika dalam studi Al-Qur’an adalah adanya
anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara konsep hermeneutika dengan konsep
takwil – tafsir , padahal dua ilmu itu sudah
mapan dalam khazanah keilmuan Islam. Munculah kerancuan apa itu takwil dan
bagaimana itu hermeneutika. Pentinglah sebelum lebih jauh membahas itu semua
mengetahui pengertian takwil-tafsir baik secara etimoligis dan terminologis.
Secara etimologi, takwil berasal dari kata آلَ
ÙŠَؤُÙˆْÙ„ُ Ø£َÙˆْÙ„ٌ ((الأَÙˆْÙ„ُ
yang artinya الرجوع (kembali) dan العاقبة (akibat atau pahala. Sedangkan
isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل
yang berarti المرجع tempat kembali, ada juga
yang mengatakan bahwa kata " Ø£َÙˆَّÙ„َ " yang berarti لرجوع إليه Ùˆ يعتمد عليه (kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan
memiliki pengikut. Ada juga yang mengatakan bahwa takwil al-iyalah atau al-iyal
yang berarti siasat. Adapun etimologi tafsir adalah penjelasan atas sesuatu,
apapun itu baik karena makna lafaznya yang kurang jelas maupun karena alasan
lain. (p.1-3)
Sedangkan
terminologi takwil dapat dibagi menjadi dua kelompok
otoritatif dan bersangkutan, yaitu terminologinya menurut ulama ushul fiqh
dan ulama al-Qur’an. Mewakili ulama ushul fiqh, Abu Hamid
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul mengatakan,
"Ta'wil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari
lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang
lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir". Abu Al-Hasan
Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul lainnya mengartikan takwil
dalam karyanya Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam mengatakan, "Ta'wil
adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal
dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya". Dari
pendapat keduanya, terminologi takwil yang paling mencakup dan banyak diterima
adalah yang dikemukakan oleh Tajuddin ibn Subkhi dalam kitabnya Jam’ul
Jawami’, yaitu “mengalihkan makna lafazh zhahir. Bila mengalihkan kepada
makna yang dimungkinkan lemah tapi berlandaskan dalil, itulah takwil yang
benar. Namun, bila berlandaskan anggapan belaka, itu adalah takwil yang salah.
Dan, bila tidak berlandaskan dalil apa-apa, maka bukanlah takwil”. Adapun dari
kalangan ulama al-Qur’an, terbagi dalam dua kelompok mengenai makna takwil.
Pertama, kelompok yang menyamakan antara makna takwil dan tafsir, salah satu
tokohnya adalah Abu ‘Ubaid. Kedua, kelompok yang menetapkan bahwa antara kedua
terma tersebut berbeda. Diantara ulama yang mengkritik kelompok pertama adalah
Habib an-Naisaburi. (p. 4-23)
Setelah
mengetahui arti takwil secara etimologi dan terminologi, sampailah pada tahap
selanjutnya yaitu mengetahui definisi hermeneutika dari segi etimologi dan
terminologinya. Secara etimologi hermeneutika diambil dari kata Yunani hermenuin,
yang artinya tafsir, penjelasan serta penerjemahan. Dalam ranah teologi,
hermeneutika ia diartikan sebagai metode untuk mengartikan wahyu Tuhan yang
samar dan tidak jelas, agar sampai kepada pemahaman terhadap wahyu tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa hemeneutic diambil dari kata hermes.
Hermes sendiri merupakan utusan dewa-dewa dalam mitologi Yunani. yaitu seorang
utusan yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Jupiter kepada umat manusia.
Tugasnya menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus itu ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti oleh manusia. Fungsi Hermes menjadi penting sebab jika
terjadi kesalah-pahaman dalam menginterpretasikan pesan dewa akibatnya akan
fatal bagi umat manusia. Sejak itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang
ditugasi menginterpretasikan pesan, dan berhasil tidaknya tugas itu sepenuhnya
tergantung bagaimana pesan tersebut disampaikan. Dari sisi terminologi,
hermeneutika sebagaimana dikatakan oleh Gadamer adalah upaya untuk mengatasi
problem pemahaman dengan meringkas makna serta usaha menguasainya dengan media
undang-undang apapun, dengan memunculkan pertanyaan-pertanyaan beragam dan
saling berkaitan seputar teks baik dari segi karakteristiknya, hubungannya
dengan kondisi yang melingkupinya dan hubungannya dengan pengarang teks dan pembacanya.
Fokus kajiannya adalah pembahasan serius seputar hubungan penafsir dan teks.
(p. 51-52)
Berkeanaan
dengan ruang lingkup kajian hermeneutika, setidaknya ada tiga pendapat berbeda
mengenai itu. Pertama, heremeneutika khusus yang mempunyai bentuk-bentuk
pertama dengan hermeneutika sebagai cabang sebuah disiplin ilmu, tujuan dari
hermeneutika semacam ini adalah pemurnian proses penafsiran teks-teks dalam
setiap medan pengetahuan, seperti sastra, hukum, kitab-kitab suci dan filsafat.
Kedua, hermeneutika umum adalah bentuk dari metode-metode dan metodologis
yang bertujan menghadirkan suatu metode pemahaman dan penafsiran serta
pembersihan kaidah-kaidah dan dasar-dasar dan tidak terkait cabang ilmu-ilmu
tertentu. Tokoh-tokoh yang cenderung termasuk kedalam golongan ini adalah
Freidrich Schleirmacher, Emilllio Betti dan Erich D Hirsch. Ketiga
hermeneutika filsafat, yaitu aliran yang menetapkan perenungan filosifis
terhadap fenomena pemahaman yang menjadi objeknya. Ia tidak berpretensi memberikan
penafsiran atau penjelasan untuk memahami teks. (p. 56-57).
Masuknya
kajian hermeneutika filosofis dalam ranah keagamaan tidak secara langsung, juga
tidak mengkristal di dalam bentuk metode baru memahami teks, karena ia bukan
merupakan aliran keagamaan yang memiliki ajaran-ajaran keagamaan tertentu.
Pengaruhnya terasa hanya karena tantangan-tantangan terhadap metode untuk
memahami teks yang sudah berlaku. (p.66).
Setelah
berbagai penjelasan dilakukan mengenai apa itu takwil dan hermeneutika penting
kiranya mengetahui secara global persoalan hermeneutika ketika disejajarkan
dengan tafsir. Setidaknya ada tujuh tantangan hermeneutika terhadap tafsir.
Pertama, pemahaman teks adalah hasil dari gabungan pemahaman cakrawala
makna-makna dalam diri penafsir dengan cakrawala makna-makna di dalam teks,
maka sifatnya menjadi bias dan itu hal yang biasa. Kedua, pemahaman yang
objektif terhadap teks, dalam arti bahwa pemahaman yang seratus persen sesuai
dengan faktualitas adalah sesuatu yang tidak mungkin, sebab elemen terdalam
dari bias mufassir dan pra-pemahamannya merupakan syarat terwujudnya pemahaman.
Ketiga, pemahaman terhadap teks tidak pernah sampai pada titik finalnya,
pembacaan berbeda terhadap teks tidak pernah ada batas akhir. Keempat, tidak
ada pemahaman yang tetap dan statis ditempat, dan tidaklah benar jika ada
pembatasan pemahaman mengenai pemahaman teks yang final dan tidak berubah-ubah.
Kelima, tujuan penafsiran bukanlah untuk menangkap pesan pengarang, sebab yang
dihadapi adalah teks bukan pengarang, maka tidak perlu penafsir memperhatikan
apa yang dimaksud oleh pengarang teks. Keenam, tidak ada bentuk standar untuk
meneliti penafsiran yang bernilai dan tidak bernilai. Ketujuh, ia sama halnya
denga relativisme. (p.65-66).
Lebih
jauh, bahwa secara historis kemunculan hermeneutika di Barat berhubungan secara
mendasar dengan problem yang dihadapi ummat Kristian dalam memahami kitab
sucinya (Bibel). Masayarakat Kristen sejak lama diterpa problem hermeneutis
seperti pemetapan injil-injil yang dinkil secara verbal kepada mereka kedalam
bentuk korpus tertulis. Terbentukmaya sekumpulan syariat langit dan pada waktu
yang sama menjelaskan hubungan antara perjanjian lama (PL) dan perjanjian baru
(PB). Membentuk doktrin-doktrin primer dengan bantuan pemahaman-pemahaman
filsafat Yunani kuno. (p.124-125).
Konsentrasi
para pengkaji hermeneutika adalah berkisar seputar teks, pengarang, dan pembaca
atau biasa disebut sebagai segitiga hermeneutika. Adapun hubungan
diantara ketiganya berpusat pada teks, sebab itulah produk dari pengarang dan
tema yang menjadi konsentrasi pembaca. (p.143).
Sangat penting
bagi kita untuk mengetahui siapa saja para orientalis yang getol dan serius
dalam mengkaji al-Qur’an dengan metode biblical criticism, diantaranya
adalah Abraham Geiger (1810-1874M), Gustav Weil (1808-1889 M), William Muir
(1819-1905 M), Theodor Nöldeke (1836-1930 M), Friedrich Schwally (w 1919 M),
Edward Sell (1839-1923 M), Hartwig Hirschfeld (1854-1934 M), David Margoliouth
(1858-1840 M), W.St. Clair-Tisdall (1859-1928 M), Louis Cheiko (1859-1927 M),
Julius Wellhausen (18440-1918 M), Alphonse Mingana (1881-1937 M), Sigmund
Fraenkel (1885-1925 M), Arthur Jeffery (1893-1959 M), Montgomery Watt
(1909-2006 M), Kenneth Cragg (1913....) dan John Wansbrough (1928-2002 M).
Sebagaian dari mereka yang masih hidup saat sekarang adalah Andrew Rippin,
Cristoph Luxenberg, Danial A. Madigan dan Harald Motzki. (p.189-190)
Modernis Islam
dan Aplikasi Hermeneutika dalam Studi Al-Qur’an
Apa
yang dikerjakan oleh para orientalis diatas dengan segala motifnya
masing-masing, ternyata berkembang juga dalam lingkungan para sarjana muslim.
Mereka menggunakan metode historis-kritis dalam bidang studi bible terhadap
al-Qur’an. Disini ada beberapa tokoh mewakili para pemikir muslin dengan
framework orientalis, sebut saja Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi, dan Nasr Hamid
Abu Zayd.
Muhammad
Arkoun amat sangat menyayangkan bahwa para ulama muslim saat ini tidak
mengikuti jejak para agamawan Yahudi dan Kristen dalam melakukan terobosan terhadap
teks bibel. Dia beranggapan bahwa kritik filologi historis yang diterapkan
terhadap teks-teks suci semisal Taurat dan injil cukup berhasil dengan tidak
mendantangkan efek negatif setelahnya. Hal inilah yang seharusnya juga
dilakukan oleh para ulama muslim saat ini. (p. 202).
Berkenaan
dengan mushaf Utsmani, arkoun menganggap bahwa itu tidak lebih hanya produk
kultural dari komunitas Islam yang sudah dimasukan ke wilayah yang tak
terpikirkan, karena banyaknya proses-proses pemaksaan dari kekuasaan yang
hegemonis. Akhirnya, ia mengusulkan proyek pengembangan pemikiran bebas karena
ia adalah bentuk reaksi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan besar ummat saat
ini. Kebetuhan tersebut ialah memikirkan masalah-masalah yang tidak terpikirkan
dan telah dibangun oleh ulama-ulama ortodoks. Kebutuhan pemikiran modern untuk
membuka cakrawala dengan menggunakan yang sistematik dan lintas kultural
terhadap persoalan-persoalan mendasar. Ia pun menggunakan metode “dekonstruksi”
untuk menghasilkan pemikiran bebas diatas, karena ia menganggap dekonstruksi
tersebut juga adalah ijtihad. (p. 204)
Teori
arkoun tentang wahyu dapat diklasifikasikan dalam dua level. Level pertama
adala umm al-kitab di langit, bersifat azali dan sempurna, tidak terikat
dengan waktu, mengandung kebenaran absolut dan transenden dan berada diluar
jangkauan manusia. Level kedua adalah edisi dunia al-Qur’an untuk wahyu
transenden, dan ia ada dalam jangkauan manusia. Termasuk didalamnya adalah
perjanjian lama, perjanjian barum dan al-Qur’an dalam bentuknya yang sekarang
telah terimbas berbagai penghapusan, perubahan serta koreksi. (p.205).
Sedangkan
Nasr Hamid Abu Zayd dibawah pengaruh teori hermeneutika dalam miliu filsafat
dan epistemologi Barat, ia meneliti hakikat konsep teks yang menjadi problem
mendasar dalam sistem hermeneutika karena wahyu Allah telah turun dengan medium
bahasa manusia, sebab jika tidak maka tentu tidak bisa dipahami manusia.
Pemikiran Nars berkenaan dengan al-Qur’an adalah ia menjelaskan bahwa al-Qur’an
adalah perkataan Muhammad yang diriwiyatkan bahwa ia adalah wahyu Ilahi. Firman
Tuhan juga butuh beradaptasi dalam lingkup manusia (humanisasi), sebab ketika
Allah berbicara kepada manusia, maka Dia harus berbicara lewat bahasa manusia.
Jika tidak, maka manusia tidak akan mengerti apa yang Dia kehendaki. Secara
tidak langsung ini berarti al-Qur’an bahasa manusia. Dan itu seudah terjadi
semenjak pertama kali al-Qur’an turun kepada Muhammad, ia berubah dari tanzil
ke takwil. (p.220).
Mengikuti
Schleimacher, Nasr Abu Zayd mengatakan bahwa teks-teks keagamaan adalah
teks-teks bahasa yang kedudukannya sama dengan teks-teks lain dalam kebudayaan
manusia. Maka dari itu mengkaji al-Qur’an tidak perlu menggunakan metode khusus,
pasalny apabila diterapkan metde khusus untuk mengkajinya itu sama artinya
menghalangi manusia untuk memahami teks-teks agama secara resmi. Ia lebih
memgedepankan kajian objektif ilmiah ketimbang mengkaji sisi-sisi metafisik
al-Qur’an sebagaimana banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu. Lebih anehnya
lagi, ia mengatakan bahwa al-Qur’an adlah produk budaya sebagaimana juga
produsen budaya. (p.221).
Posting Komentar