Buku : Literatur Mistisisme
Penulis :
Carl A. Keller, D.D
Ada
ungkapan berkenaan dengan sebuah istilah bahwa, setiap kata mengandung makna,
makna dibangun diatas konsep dan konsep terbentuk dari cara pandang tertentu
yang mengitarinya. Istilah adalah kata kunci, maka tidaklah bisa digeneralisir
pemaknaannya dengan istilah dalam tradisi cara pandang yang berbeda, termasuk
antara tasawwuf dan mistisisme.
Tidak
sedikit kalangan yang mencap tasawwuf tidak murni lahir dari ajaran Islam,
melainkan terdapat campur tangan ataupun pengaruh tradisi-tradisi agama dan
ajaran lain. Maka dari sini tidaklah heran apabila ia disejajarkan dengan
mistisisme. Padahal, anggapan pertama
amatlah keliru dan harus diverifikasi. Kedua, ternyata mistisime adalah sebuah
konsep fenomenologis yang diciptikan oleh sarjana Barat. Namun hari ini,
istilah mistisime sudah banyak digunakan untuk sekala global dan umum. Hal ini
berangkat dari asumsi bahwa, apa yang ditemukan dalam satu agama entah itu
jenis pengalamannya, tujuan spiritual, praktik-praktik spiritual adalah dapat
ditemukan juga dalam agama lain berlandaskan terhadap usaha-usaha fenomenologi
setiap agama). (p.113)
Selanjutnya
berangkat dari pemahaman mistisime dalam agama Kristen. Dalam konteks teologi
Kristen, kata “mistis”, atau “mistikus” merupakan istilah
yang memiliki makna pasti. Istilah-istilah tersebut menandakan tingkatan
tertinggi dari gnosis Kristen atau pengetahuan religious yang
dikonseptualisasi sebagai bentuk penyatuan dengan Tuhan dan penyempurnaan
manusia. Jadi, teologi mistis adalah pengetahuan final tentang misteri-misteri
Tuhan, pengetahuan tertinggi yang masih bisa diharapkan unutk dicapai oleh
manusia. (p.114)
Generalisasi
konsep teologi mistisisme diatas terhadap agama-agama lainnya dianggap akan
mendatangkan manfa’at dan tidak mustahil bisa diaplikasikan secara real.
Generalisasi ini pun berawal dari satu asumsi dasar yang tidak terbantahkan
secara filosfis-antropologis yaitu dengan adanya keyakinan bahwa ada kesamaan
atau bahkan keidentikan pengalaman manusia dalam semua budaya, pemahaman
trans-kultural dan identifikasi adalah dimungkinkan adapun konstruk-konstruk
ideology dan bahasa hanyalah sebuah kulit yang dapat dengan mudah dibuang guna
menyingkapkan substansi umum. Tak heran apabila kajian komparatif terhadap
pengalaman mistik lebih sering berhasilnya dibandingkan kajian komparatif
terhadap doktrin-doktrin religius. (p.114-115)
Dan
untuk mengetahui lebih jauh pengalaman mistisme setiap mistikus dari berbagai
macam budaya dan agama, setidaknya dapat dilacak melalui dokumentasi teks-teks
daripada melaui ucapan lisan para mistikus tersebut. Walau tidak dapat
dipungkiri setiap teks tersebut memiliki perbedaan. Teks dalam bahasa Arab
tentu akan berbeda dengan sebuah himne Tamil Shiva dan lainnya. (p.116)
Tulisan-tulisan
mistisisme adalah teks-teks yang berurusan dengan pengetahuan tertinggi,
tentang sifat aslinya, keadaan penyusunannya, kondisi-kondisinya, metodenya dan
juga tentang wawasan sekunder yang mungkin diberikan kepada seorang pencari
dalam perjalan menempuh tugasnya. Ringkasnya, tulisan mistisisme adalah
teks-teks yang mendiskusikan setapak perwujudan pengetahuan tertinggi yang
ditawarkan oleh setiap agama yang didalamnya berisikan pernyataan-pernyataan
sifat asli dan cirri-ciri perwujudan diatas. (p.117)
Bahasa
adalah sebuah alat yang mempunyai banyak valeansi, sehingga malalui bahasa,
benda-benda dan semua hal dapat dibayangkan dan dibangun tanpa harus dialami
dalam kehidupan nyata. Tentang bagaimana sebuah teks bisa disebut mistik atau
darimana pembaca mengetahui bahwa itu adalah teks-teks mistis dan terbangun
dari pengalaman-pengalaman puncak para mistikus. Tentunya dapat dilihat dan
analisi melalui pengetahuan terhadap genre-genre teks yang menjurus kepada hal
tersebut. Beberapa genre yang dapat dikenali sebagai teks-teks mistis
diantaranya ada aforisma, biografi, laporan tentang visi,
penjelasan-penjelasan, dialog, perintah-perintah, doa, puisi religious, dan
fiksi. (p.118-119)
Aforisma. Perkataan, baik prosa atau puisi, adalah bentuk yang paling dasar dan otentik dari literature mistik. Mereka tidak hanya menyampaikan bagaimana sesuatu itu, tapi juga bagaimana seharusnya sesuatu itu ada. Selalu memberikan ungkapan pendek tentang suatu kebenaran moral dan agama., bersifat didaktik, serta pokok pembahasannya tradisional juga dengan bahasa pengantar yang tradisional. (p.120)
Tidaklah dimungkinkan untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari pengalaman seorang sufi hanya dengan mendengarkan ucapannya, kecuali ada sebuah periwayatan langsung pengalaman itu dari guru kepada muridnya. Dikarenakan, bahsa sufi selalu bersifat ambigu. Ia bisa saja merupakan ocehan ekstatik dari orang-orang yang belum lagi menyaksikan kebenaran, atau boleh jadi ajaran pragmatis dari seorang guru yang memberitahu muridnya apa yang harus dikatakan. (p.124)
Biografi, yaitu kumpulan ucapan-ucapan dan anekdot yang khas, serta kisah kehidupan lengkap seorang suci yang mistikus
Posting Komentar