Menelaah Makna dan Tren Pluralisme Agama
Oleh: Hasbi Arijal, M.Ag.
Pendahuluan
Setelah
dikeluarkannya fatwa MUI tahun 2005 silam mengenai haramanya paham Sekularisme,
Pluralisme dan Liberalisme (SEPILIS), ternyata mengundang ancaman,
hantaman, hujatan dan tantangan yang datang dari beberapa kalangan. Bagi
sebagian kelompok yang mengecam ini, berpendapat bahwa pluralisme agama adalah
sikap toleransi ditengah kemajemukan budaya, ras, bahkan agama agar terciptanya
kerukunan dan perdamaian antar sesama agama. Karena hanya seorang pluralis
sejati yang toleran, ungkap salah seorang pendeta kebangsaan Jesuit. Di sisi
lainya ada yang mengatakan dan mengkritisi fatwa MUI tersebut sebagai pengancam
kebebasan beragama di Indonesia yang berdasarkan pancasila. Selain gugatan,
hujatan, dan kecaman seperti diatas, ada juga usaha dari segolongan orang yang
berusaha mengaburkan makna pluralisme itu sendiri. Ini terlihat dari banyaknya
karya yang bermunculan baik berupa buku, jurnal, sampai desertasi guna membahas
dan mengkelirukan fatwa yang telah dikeluarkan MUI. Secara sederhana pluralisme
diartikan oleh mereka sebagai wujud toleransi dalam mengakui agama-agama yang
telah ada, terutama Yahudi dan Nasrani. Lebih jauh pernyataan bahwa pluralisme
agama bukanlah relativisme, karena ia berbicara hanya pada tataran fakta
realitas bukan teologis. Pengaburan makna juga dilakukan oleh salah satu
pendiri JIL dalam wawancara yang diupload disitus resmi JIL sendiri mengenai
pluralisme agama, Ulil mengatakan bahwa amat salah ketika orang memisahkan
antara pluralitas dan pluralisme karena keduanya bagian satu yang tak bisa
dipisahkan. Intinya ketika orang mengakui adanya fakta pluralitas maka secara
tidak langsung ia juga mengamini pluralisme secara sekaligus. Untuk lebih
memahami ideologi ini, setidaknya kita dapat melacak penggagas dan
perkembangannya dari dua tren penting ideologi ini, yaitu tren teologi
global dan tren kesatuan agama-agama.
Berangkat dari
fenomena diatas, tulisan ini ingin mengkaji lebih jauh makna serta tren dari
pluralisme agama itu sendiri.
A.
Pluralisme
Agama (etimologis dan terminologis)
Secara etimologi, kata “pluralisme”
diambil dari akar kata “plural” yang bermakna lebih dari satu. Namun dalam beberapa
kamus otoritatif seperti The New International Webster’s Comprehensive
Dictionary of The English Language, Oxford Advenced Learner’s Dictionary of
Current English, dan Kamus Filsafat Loren Bagus, arti
pluralisme dapat dibagi kedalam tiga pengertian. Pertama, pengertian secara
gerejawi (ecclesiastical sense),
yaitu seseorang yang memiliki jabatan lebih dari satu dalam gereja. Kedua,
pengertian diranah filsafat (philosophical sense),
yaitu satu doktrin yang meyakini adanya semangat pluralitas sebagai anugerah
dari dzat yang satu atau juga diartikan sebagai doktrin yang menganggap tidak
ada kebenaran mutlak karena semua realitas adalah sama benarnya dan valid. Ketiga,
pengertian secara politik-sosial (socio-Political sense), yaitu keberadaan berbagai kelompok, seperti agama,
ras, atau etnis dalam masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap keragaman
budaya dengan tetap mempertahankan karakter khas masing-masing.
Namun, ketika kata pluralisme
disandingkan dengan kata agama ia menjadi pluralisme agama. Pluralisme agama
adalah satu istilah khusus dalam bidang studi agama dan sudah menjadi teori
dalam bidang filsafat agama. Oleh karena itu istilah ini tidak dapat diartikan
secara serampangan juga seenaknya. Ia tidak dapat lagi disamakan dengan
toleransi atau sikap saling menghargai antara satu dengan lainnya. Dalam era
modern, istilah pluralisme agama adalah istilah teksnis dalam kajian studi
agama, yang memiliki pengertian berbeda dari pengertian secara leksikal
sebagaimana diatas. Maka, secara singkat pluralisme agama secara terminologi
adalah satu pemahaman atau sudut pandang terhadap keragaman agama-agama (pluralitas)
yang mana semua agama sebanding dan sama benarnya.
B. Tren Pluralisme Agama
Selanjutnya, untuk mengetahui lebih
jauh ideologi pluralisme agama, setidaknya dapat ditelusuri melalui dua tren
penting didalamnya, yaitu teologi global dan tren kesatuan agama-agama.
Teologi global (Global Theology)
lahir dari rahim globalisme Barat. Pengusungnya adalah John Hick seorang teolog
Kristen Protestan dan disebut juga sebagai figur paling berpengaruh dalam
perkembangan pluralisme agama. Dalam
teorinya, Hick merumuskan sebuah revolusi teologis dari pemusatan agama-agama
menuju pemusatan tuhan (the transformation from religion-centredness to
God-centerdness). Selain itu, Hick
juga memandang bahwa agama-agama adalah realitas dari tanggapan budaya manusia
yang berbeda-beda dari Satu Yang Nyata (The Real). Dengan teorinya ini, Hick ingin menegaskan
bahwa kebenaran agama tidaklah monolitik atau tunggal tapi bersifat plural
sesuai dengan jumlah tradisi-tradisi atau ajaran-ajaran agama yang melaluinya
manusia melakukan respon terhadapnya.
Berbeda dengan teologi global,
kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions) lahir
sebagai kritik terhadap globalisme dan modernitas Barat yang anti agama.
Pengusungnya yang terkenal adalah Fritchof Schuon. Ia membagi agama-agama
kepada dua hakikat; eksoterik (lahiriyah), dan esoterik (bathiniyah).
Dari sudut pandang ini, agama-agama seperti; Islam, Kristen, Yahudi, Hindu,
Budha dll merupakan bentuk lahiriyah (eksoterik) yang dipisahkan oleh
garis horizontal dan bertemu pada hakikat esoterik.
Sejatinya, pandangan ini ingin
mengantarkan manusia kepada sebuah kesepakatan pandangan bahwa semua agama
merupakan manifestasi-manifestasi dan bentuk-bentuk yang beragam dari hakikat
esoterik yang tunggal. Dari sudut pandang ini dimensi esoterik merupakan
sesuatu yang absolut dan dimensi eksoterik bersifat relatif agar agama-agama
dapat berkoeksistensi satu sama lainnya.
C.
Kesimpulan
Dari uraian ringkas diatas dapat
disimpulkan bahwa, apa yang selama ini dipahami dan diwacanakan oleh para
golongan JIL tentang pluralisme agama telah jauh dari pengertian awalanya.
Mereka menyamakan pluralisme agama dengan toleransi, sikap menghormati atau
satu respon terhadap pluralitas dimasyarakat. Padahal pluralisme agama sudah
menjadi istilah teknis dalam bidang studi agama yang bermakna pengakuan atas
kebenaran semua agama serta relatifitas atas semua kebenaran agama-agama.
Secara lebih jauh, pluralisme agama hakikatnya adalah satu paham dan gerakan
yang ingin meleburkan dan menghilangkan agama itu sendiri jika tidak dibilang
sebagai sebuah agama baru. Hal ini dapat dilihat dari dua golongan utamanya,
baik itu teologi globalnya John Hick ataupun kesatuan agama-agama yang digagas
oleh Fritchof Schuon.
Posting Komentar