Buku : Kristologi Qur’ani Telaah Kontekstual Doktrin Kekeristenan dalam Al-Qur’an
Penulis :
Hasyim Muhammad
Penerbit :
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan :
Kedua, 2005
Tebal :
xviii + 241 halaman
Sebagai Negara yang majemuk baik itu suku, ras, bahasa dan agama, Indonesia selalu dihantui berbagai macam persoalan kerukunan. Sejarah mencatat, kondisi hubungan antar agama di Indonesia melalui masa pasang surut semenjak masa kolonial hingga saat ini. (p.1)
Maju-mundurnya harmonisasi antar agama di Indonesia dapat dilihat melalui beberapa periodesasi. Di era baru harmonisasi antar agama mengalami perkembangan yang cukup signifikan, ini disebabkan campur tangan penguasa untuk menjaga stabilitas politik negara. Pada tahun 1967, pemerintah mempraksai musyawarah antar agama dengan melibatkan para tokoh agama-agama, lagi-lagi untuk stabilitas politik. Di era 70an, bisa disebut era baru dalam hubungan antar agama, dimana mereka turut aktif bergabung guna mengembangan perubahan masyarakat. Baru pada akhir tahun 90an semenjak runtuhnya orde baru, dialog antar agama mengalami kemundura. Terlihat dari berbagai isu-isu kecil yang menuai konflik hingga berunjung pada konflik berbau sara. (p.1-2)
Kenyataan
diatas mengharuskan adanya strategi baru untuk merumuskan dialog yang lebih
efektif lagi. Antara lain adalah dengan pengalihan dari dialog bersifat
struktural menjadi kultural, dari yanag masih segan untuk melihat
prinsip-prinsip agama lain secara mendasar dan mendalam supaya hendak
dilakukan. Maka, kajian ulang terhadap teks-teks keagamaan harus lebih terbuka
lagi agar adanya gambaran terhadap nilai-nilai luhur dan universal dalam setiap
agama. Pada dasarnya setiap agama menyeru kepada kebaikan, penghormatan, sikap
peduli dan lain sebagainya. Initi dari agama juga adalah memberikan perhatian
kepada ketidak adilan, kesewenang-wenangan, penindasan, kemiskinan, perdamain
dan segala aspek kemanusiaan lainnya. Maka, tidak salah kalo harusnya
agama-agama tersebut dipersatukan untuk sebuah perdamaian universal. (p.3)
Lebih
jauh lagi, permasalahan ada ketika terdapat fenomena eksklusifistik pada diri
sebagian kaum beriman, mereka menginginkan agar orang yang tidak beragama
sesuai dengan agamanya hendaknya berubah mengikuti agama yang dianutnya. Hal
ini didasari pemahaman yang eksklusif dan juga militan terhadap teks-teks
agama. (p.4).
Penulis
mengutip kata-kata Dr. Kautsar Azhari Noer bahwa, “eksklusifisme yang menutup
diri sebenarnya bukan merupakan kekokohan dasar sejati dalam iman, tetapi
merupakan kegoyahan, ketertutupan adalah cermin ketakutan, dan ketertutupan
adalah cermin kegoyahan. Keterbukaan adalah cermin keberanian, dan keberanian
adalah cermin kekokohan”. Toleransi, keramahan, dialog antar agama dan
kerjasama antar agama, bukan berarti menyamakan semua agama dan
mencampuradukannya sebagaimana sinkritisme. Namun hal tersebut dimaksudkan
untuk meperdalam keagamaan (pemahaman) dan spiritualitas dengan agama lain.
Melalui hal tersebut dapat memperkaya pengalaman dalam rangka memperkokoh agama
itu sendiri. Al-Qur’an sebagai pedoman dan pegangan hidup sebenaranya sudah
memberikan gambaran tentang toleransi ini, salah satu dari wujud keterbukaan
al-Qur’an adalah adanya banyak ayat yang mengapresiasi agama lain, seperti para
tokoh Kristen dan Yahudi. (p.6-7)
Islam
dan Kristen, walaupun keduanya secara konseptual memiliki perbedaan-perbedaan,
namun perlu dicatat secara teologis keduanya memiliki ciri khas yang sama,
yakni agama monoteis (tauhid). Inilah sebagai landasan mencari titik
temu kedua agama tersebut. (p.8)
Berkaitan
arti dari Yesus sendiri adalah merujuk para pakar berasal dari bahasa Ibrani Yeshua,
diubah kedalam bahasa Siria Yeshu, sebagaimana perubahan penyebutan Musa
diambil dari kata Moses atau Mosheh. Sebutan Isa menurut para
ahli digunakan oleh orang Yahudi berkebangsaan Arab, karena kedekatannya dengan
Esau tokoh sentral Yahudi. (p.27)
Adapun mengenai hari, tanggal, dan tahun
kelahiran Yesus sampai hari ini masih dalam perdebatan. Ada banyak perbedaan
berkenaan dengan itu dalam injil ummat Kristiani. (p.74)
Salah
satu syarat dan kriteria sebuah ajaran disebut agama adalah, adanya kitab suci
yang menjadi panduan dan pedoman. Dalam agama Kristen Bibel atau dalam istilah
arab dikenal sebagai al-Kitab, merupakan kitab suci dan pedoman mereka. Bibel
sendiri merupkan kumpulan dari banyak kitab dan risalah yang disusun menjadi
dua bagian, perjanjian lama (Old testament) dan perjanjian baru (New
testament). Perjanjian lama merupakan bagian utama dan terbesar dari
al-Kitab. Ia telah ditulis sebelum kelahiran Yesus. Adapaun perjanjian baru
merupakan bagian lebih sedikit dan berisi rekam jejak sejarah kehidupan, ajaran
Yesus, meskipun tidak lengkap. (p.112-113)
Secara
penulisan, al-kitab ditulis pertama kali dalam bahasa Ibrani (Hebrew), kemudian
Aram (Aramic), dan Yunani dalam kurun waktu 1200 SM-150M. Para penulisnya
adalah para nabi, rasul, guru, sejarawan, sastrawan, filosuf, dan seniman yang
sebagian tidak dikenal. Meski demikian tidak mengurangi keyakinan bahwa
al-Kitab adalah inspirasi dari Tuhan. (p.113)
Trinitas
adalah konsep yang dikenal khas dan pelik untuk didekripsikan. Doktrin ini
hanya ada pada teologi Kristen, sehingga sangat sulit mengkajinya diluar
konteks kekristenan. Seorang teolog Amerika Loraine Boettner, mengibaratkannya
dengan memandang langsung matahari ditengah matahari. Dalam Kristen pun,
doktrin ini dianggap unik dan kontroversial, walau demikian adanya, doktrin ini
dianggap sebuah kenyataan kebenaran. Kristen menjadi tidak bermakna tanpa
adanya konsep trinitas, karena semua konsep epistemologi berpijak kepadanya. Ia
pun diangggap sebagai misteri intelektual yang sukar diurai secara
epistemologis. (p.123-124)
Akan
tetapi, meskipun doktrin trinitas adalah doktrin khas dan eksklusif dalam
Kristen, ternyata ia tidak ditemukan dalam perjanjian lama, bahkan ayat-ayat
yang diduga mengindikasi kebenaran trinitas, justru dapat dimaknai sebaliknya. (p.126-127)
Maka dari itu
untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai makna terma-terma
kekristenan harus melalui kajian historis-kontekstual, dalam konteks apa dan
bagaimana ia diturunkan. Pada akhirnya, perbedaan bahasa dan budayalah penyebab
atau konsekuensi atas terjadinya perbedaan dalam memahami kitab suci.
(p.159-162).
Hakikatnya, apa
yang diterima oleh Allah bukanlah dilihat dari agamanya, entah itu Yahudi
maupun Nasrani. Karena agama hanyalah sebuah lembaga yang tidak bisa memberikan
jaminan. Tetapi, kebaikan, kemuliaan dan kebenaran diberikan atas kepribadian
moral dan spiritual setiap individu-individu tanpa melihat atau tidak terbatas
agama, ras dan suku tertentu. (p.209)
Allah mengingatkan
manusia untuk tidak lagi melihat agama apa yang dianut atau ritual apa yang
harus dijalankan, tetapi mengajak untuk kembali kepada misi universal yang
diusung bersama (agama-agama), yakni menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah
dan tidak menyekutuinya. Disinalah peran syari’at setiap agama tidak terlalu
penting dalam kemajemukan agama, sebab semuanya memiliki pesan yang sama.
Faktanya adalah terjadinya masyarakat plural yang sudah menjadi sunnatullah itu
sendiri. Oleh sebab itu tidak diperbolehkan setiap agama terlalu egois dan
angkuh dalam memonopoli kebenaran, karena jaminan keselamatan Tuhan berikan
kepada setiap pemeluk agama. Keselamatan bukanlah milik atau hak agama
tertentu, melainkan hak setiap individu dengan system keyakinan apapun.
(p.210-213)
Penulis: Hasbi Arijal, M.Ag.
Posting Komentar