PENDAHULUAN
Secara umum
humanisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa, manusia adalah standar
segalanya. Paham ini meniscayakan penghapusan agama. Dimana di Barat telah
terjadi peruabahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sabagai
pusat) menjadi antroposentris
(manusia sebagai pusat). Perubahan ini dianggap revolusioner yang selalu
mengiringi perubahan Barat modern semakin eteis.[1]
Demi mengembangkan pemikiran humanis-liberal, dapat berimplikasi meninggalkan
agama yang dimana Tuhan segala sumber inspirasi pengetahuan, karena secara
tidak langsung agama bagi humanis diyakini sebagai sekat yang menutup kesadaran
manusia.[2]
maka untuk memperolah kesadaran dalam melakukan penelitian empiris, sangat
disarankan bagi Barat utuk meninggalkan seutuhnya ajaran-ajaran agama yang
kaku, termasuk wahyu yang bagi kalangan humanis tidak mampu memenuhi atau
menyeseuaikan kebutuhan manusia di zaman era modern. Pemahaman ini menjadikan
manusia sumber moral, nilai, dan lainnya.[3] Adanya
pemahaman humanis-liberal zaman postmodern, mampu mengusi segi-segi misterius
dan sakral dalam diri manusia, maksudnya menghilangkan ajaran-ajaran agama menjadi pemahaman
keagamaan berdasarkan rasio yang mengatur agama.[4]
Dengan
perkembangan humanisme ini, mampu merubah cara pandang manusia terhadap Tuhan.
Karena dasarnya, ingin manusia yang mengatur segala urusan manusia, atau bahasa
lainnya manusia sumber kebenaran dalam mengatur pola pikir dan tingkah laku
manusia.[5]
Yang lebih mengawatirkan lagi, umat Islam yang telah memiliki (worldview Islam)
pandangan hidup benar, juga tak luput dari pengaruh dan kontaminasi pemikiran
humanis-liberal ini.[6]
Banyak kalangan ilmuwan Muslim yang terpesona dan menerapkannya, bahkan secara
terang-terangan menyebarkan paham tersebut.
Perkembangan yang begitu pesat terlihat di Barat sejak masa Pencerahan dan Renaissance. Perkembangan tersebut meliputi aspek keilmuan, teknologi, filsafat dan doktrin religius sebagai kepercayaan masyarakat. Salah satu hal yang amat menarik perhatian dalam perkembangan tersebut adalah munculnya sebuah doktrin yang mengatasnamakan diri sebagai humanis.[7] Kaum humanis merupakan sebuah perkumpulan manusia dibawah ide dan doktrin yang sama, yaitu konsep antroposentris (menjadikan manusia sebagai titik pusat segala macam tindakan dan peraturan yang ada dimuka bumi). Kaum tersebut dengan doktrin kuatnya kemudian sering disebut dengan humanisme, yang sering disandingkan dengen salah satu pengertian sebagai sebuah sistem progesif filsafat yang memiliki kaitan erat dengan pola kehidupan manusia dengan menitikberatkan pada sikap anti Tuhan dan berbagai macam kepercayaan supranatural lainnya, hal ini kemudian membuka ruang yang menegaskan bahwa manusia telah menjadi penanggungjawab atas penentu etika dan segala hal berkaitan dengan kemanusiaan.[8] Mengutip salah satu tokoh bernama Anthony Pinn didalam bukunya, yang menegaskan bahwa aliran humanis memiliki tujuan menciptakan kehidupan yang berlandaskan pada aspek kebebasan dari sebuah doktrin supranatural sehingga manusia mampu menjadi bagian natural yang menghasilkan nilai-nilai sebagai landasan moral dan aturan.
WACANA HUMANISME DI BARAT Melalui penjelasan
mengenai pengertian Humanisme diatas, perlu kiranya memahami wacana yang
diusung oleh Humanisme tersebut di Barat. Sebuah filsafat rasional yang
melandaskan kepada pemahaman bahwa manusia merupakan penganggungjawab segala
aspek terkait kehidupan manusia menggiring sebuah sikap yang mendukung doktrin
antroposentris. Antroposentris merupakan sebuah paham bahwa manusia merupakan
titik pusat segala bentuk kehidupan masyarakat baik aturan, etika dan bidang
lainnya. Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan makna Humanisme didalam The
Cambridge Dictionary of Philosophy mengatakan bahwa
“a set of presuppositions
that assigns to human beings a special position in the scheme of things. Not
just a school of thought or a collection of specific beliefs or doctrines,
humanism is rather a general perspective from which the world is viewed.”[9]
Pendapat diatas memperlihatkan wacana awal yang dibangun didalam
doktrin Humanisme dengan memberikan manusia posisi khusus untuk mengambil alih
berbagai macam skema didalam beberapa hal yang berbeda. Dalam wacana diatas
juga dijelaskan mengenai peran Humanisme yang dinilai lebih dari sekedar
doktrin keagamaan atau pemikiran namun wacana yang dibangun tersebut merupakan
perspektif umum dari mana dunia dipandang.
Humanisme muncul
sebagai sebuah penawaran alternatif didalam agama yang telah lama dipercayai dan
diyakini manusia. Dalam hal ini, Humanisme menggiring asumsi terhadap sikap
percaya bahwa kehidupan didunia ini hanyalah sebuah kehidupan yang didasari
pada pengetahuan manusia yang menjalaninya serta setiap manusia memiliki hak
penuh didalam kehidupan mereka masing-masing dengan kebebasan penuh dalam
menjadikan kehidupan tersebut lebih baik.[10]
Terlepasnya ajaran
Humanisme dari doktrin agama diperkuat dengan definisi yang memberikan asumsi
yang meyakinkan bahwa ketika manusia diberikan kebebasan dalam berpikir dan
bertindak demi keberlangsungan hidupnya maka itu adalah sebuah kunci utama
didalam mendukung kesuksesan hidup tersebut, tentunya didukung dengan alasan
dan pengetahuan manusia tersebut didalam memaknai aspek-aspek yang beragam
didalam kehidupan.[11]
Hal ini kemudian membuka pintu-pintu kebebasan berkehendak dalam segala bidang,
karena manusia yang menjadi tolak ukurnya tidak bersifat absolut melainkan
relatif.
Selain membawa
doktrin antropocentris sebagai sebuah aliran filsafat, Humanisme menjadikan
dirinya sebagai salah satu filsafat penting dalam kehidupan yang menekankan
kesejahteraan manusia, dimana kesejahteraan tersebut tidak seperti
kesejahteraan yang dianggap Tuhan atau kepercayaan supranatural lainnya.
Humanisme berpendapat bahwa tidak pernah ada bukti nyata bahwa kekuatan Tuhan
atau kepercayaan supranatural tersebut pernah dikomunikasikan kepada manusia,
sebagaimana juga kedua hal tersebut tidak pernah terbukti pernah menjadi
pengganggu hukum alam dan memberikan kerugian kepada siapapun didunia.[12]
“Humanism is a
philosophy, worldview, or life stance based on naturalism-the conviction that
the universe or nature is all that exists or is real. Humanism serves, for many
humanists, some of the emotional and social functions of a religion, but
without belief in deities, transcendental beings, miracles, immortality, and
the supernatural. Humanists seek to understand the universe by using science
and its methods of critical inquiry-logical reason, empirical evidence, and
skeptical evaluation of conjectures and conclusions-to obtain reliable
knowledge. Humanists affirm that humans have the freedom to give meaning,
value, and purpose to their lives by their own independent thought, free
inquiry, and responsible, creative activity. Humanists stand for the building
of a more humane, just, compassionate, and democratic society using a pragmatic
ethics based on human reason, experience, and reliable knowledge-an ethics that
judges the consequences of human actions by the well-being of all life on Earth.”[13]
Sikap Humanisme
didalam doktrin antroposentrisnya tersebut kemudian menjadi landasan dalam
paham-paham lainnya yang muncul setelahnya, seperti paham relativisme. Paham
relativisme muncul dan berkembang setelah Barat menerima konsep yang diajukan
oleh Humanisme didalam kehidupan masyarakat seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Tentunya hal itu menambah permasalahan, karena dengan dibukanya pintu
relativisme tersebut, manusia memiliki anggapan bahwa tidak ada kebenaran yang
bersifat absolut atau pasti, semua bentuk kebenaran sudah merupakan hal yang
relatif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan pendapat manusia yang
menjalaninya.[14]
Wacana Humanise
yang berbentuk antroposentris ini menjadi salah satu kunci dasar dalam
perkembangan paham lainnya didunia Barat. Paham seperti sekulerisasi juga
muncul dan dipengaruhi peran humanis itu sendiri, karena pemisahan antara agama
dan kehidupan sosial manusia merupakan salah satu bentuk nyata didalam sikap
anti-Tuhan dalam Humanisme.[15]
Hal ini kemudian berdampak pada beberapa hal seperti munculnya
perjuangan-perjuangan mengatasnamakan HAM dalam kehidupan manusia yang justru
dinilai mengingkari unsur fitrah manusia tersebut. Paham feminisme yang
memperjuangkan kesetaraan gender, paham pernikahan sejenis dan LGBT merupakan
dampak nyata dari wacana yang dibangun didalam konsep Humanisme tersebut.[16]
Dalam permasalahan ini, terdapat kasus utama yaitu desakralisasi konsep Tuhan
dan proses marginalisasi agama di Barat yang menjadi tonggak utama kelangsungan
dan perkembangan pesat aliran dan paham-paham diatas, sehingga perlu kiranya
memahami lebih lanjut bagaimana wacana teologi (agama dan ketuhanan) tersebut
dipahami di Barat dan kemudian bisa ditinggalkan.
PERKEMBANGAN HUMANIS DAN TEOLIGINYA
Mengutip tulisan
Hamid Fahmi bahwa Humanisme ternyata bukan sekedar aliran filsafat yang muncul
pada masa renainsane, melainkan usia yang dimiliki Humanisme yang muncul di
Barat tersebut diperkirakan seumur peradaban Barat itu sendiri.[17]
Argumen ini dapat dibuktikan melalui sejarah panjang yang dialami Humanisme
tersebut di Barat yang muncul sejak filsuf terdahulu bernama Protagoras
(seperti yang dijelaskan pada pembahasan sebelumnya). Filsafat Humanis menjelma
menjadi sebuah doktrin beraoma baru sejak abad ke-14 (Renainsane) yang merupakan
titik awal kesemangatan mereka dalam mengkaji filsafat, seni dan sastra kalsik
yang tinggi.
Pada awalnya
humanisme memiliki doktrin yang kuat mengenai agama (dalam hal ini kristen).
Namun seiring berjalannya perkembangan humanis tersebut, tepatnya pada awal
abad ke-16, gereja di Eropa Barat berada didalam keadaan yang benar-benar
kritis dan memerlukan pembaruan. Tata gereja saat itu dianggap telah mengalami
kemerosotan dan kegagalan yang nyata karena kinerjanya didalam memenuhi
kebutuhan sosial manusia dinilai tidak lagi efisien.[18]
Hal ini kemudian disambut dengan hal
senada oleh pengamat kristen dan teolog lainnya seperti Martin Luther dan
Yohanes Calvin yang mengatakan hal bahwa gereja telah kehilangan visinya.
Hal yang lebih
menarik perhatian kalangan teologi adalah timbulnya cemooh yang mendalam dari
kubu agamis itu sendiri yaitu Kardinal Pelagius, dimana ia menegaskan bahwa
manusia punya kapasitas yang kuat dan cukup untuk menentukan segala tindakan
dan perkembangan tanpa campur tangan Tuhan.[19]
Peristiwa ini kemudian menjadi pintu perkawinan yang terjadi antara humanisme
dan kristen saat itu, percampuran teologi dan beberapa hal terkait prinsip
ketuhanan mulai dicemari saat itu. Teologi yang awalnya masih memberikan space
dan hak Tuhan kemudian berganti pada konsep antroposentris yang benar-benar
otoriter sehingga aspek ketuhanan dilenyapkan secara paksa.
Kehilangan
kepercayaan yang dialami masyakarat Barat saat itu merupakan sebuah kalkulasi
dari berbagai macam hal yang terjadi saat itu. Salah satunya adalah pendapat
yang dikemukakan oleh Philip Schaff yang menuliskan :
“Education was confined
to priest and nobles. The Mass of the laity could neither read nor write and
had no access to the world of God except the Scripture lessons from the
pulpit.”[20]
Mengutip komentar
yang diberikan oleh Mc Grath, membuktikan bahwa dalam perjalanannya, Humanisme
di Barat pada abad pertengahan merupakan sebuah doktrin yang masih
dikategorikan religius. Menurutnya pada masa tersebut, para Humanis lebih
condong dalam memperhatikan pembaharuan terhadap gereja daripada melihat
kehancuran gereja tersebut.[21]
Namun hal tersebut berbanding terbalik sejak zaman renainsane dimana para
humanis justru mengesampingkan Tuhan dan berfokus pada manusia saja.
Menelaah kembali
kepada ajaran Humanis pada masa renainsane, maka dapat dikatakan reformasi yang
terjadi saat itu merupakan kesatuan yang sangat kuat antara Humanis dan
Renainsane. Dalam hal ini, seorang tokoh bernama Carlos Eire mengutip pendapat
seorang sejarawan bernama Bernd Moeller yang berisi penegasan bahwa “No
Humanism, No Reformation” atau dalam bahasa lain ia mengatakan “No
Renainsane, No Reformation”.[22]
Ia bermaksud menjelaskan bahwa terdapat aspek yang bersifat esensial didalam
tubuh Humanisme yaitu menegakkan kembali aspek intelektual renainsane yang
kemudian akan berimplikasi pada sebuah perubahan atau reformasi.
Pergeseran yang
terjadi didalam tubuh Humanisme menjadi cikal bakal pergeseran teologi. Pada
awalnya mereka masih memberikan ranah kekuasaan Tuhan sebagai dasar pijakan
manusia seketika berubah sejak masa Renainsane bergulir, Humanisme pada masa
tersebut memberikan karakteristik baru. Humanisme mengajarkan suatu model
pendidikan yang menjadikan manusia kembali ke martabat dan harkatnya, mereka
berusaha untuk menempatkan manusia pada seluruh potensi yang memungkinkan untuk
digali dan dikembangkan.[23]
Hal ini kemudian menjadi sangat cepat berkembang dan diterima di Barat, dimana
peran Humanis membuat perkembangan kaum atheis semakin pesat dan meluas.
KONSEP KETUHANAN DAN AGAMA DALAM PANDANGAN TEOLOGI HUMANIS
Menarik kembali
kutipan Hugo mannel diatas bahwa jika melihat kepada pendapat Karl Bart
mengenai Tuhan maka sudah selayaknya kita berbicara Tuhan selayaknya berbicara
tentang manusia. Hal ini dikuatkan dengan pendapat lainnya mengenai konsep
ketuhanan di dalam teologi Humanis tersebut, dimana para humanis berpendapat
bahwa Tuhan didalam pandangan mereka memiliki dua bentuk yang perlu dikaji
lebih mendalam, yaitu Objektif dan Subjektif.[24]
Tuhan yang mereka sebut objektif merupakan Tuhan yang mereka anggap sebagai
wujud Tuhan yang banyak dipercayai manusia dalam ranah keimanan, ritual
(ibadah) dan penyembahan.[25]
Selain itu terdapat pandangan lainnya bahwa Tuhan didalam agama merupakan
sebuah formulasi intelektual yang menegaskan bahwa manusia merupakan sisi Tuhan
yang subjektif, yang mampu berbuat dan menentukan jalan hidup serta aturan
didalamnya.[26]
Pembagian kepada bentuk Tuhan subjektif dan objektif merupakan sebuah jalan
nyata yang dilegalkan didalam filsafat tersebut tentang marginalisasi ketuhanan
didalam agama.
Dalam hal ini
Humanisme juga berpendapat bahwa manusia selaku pelaku kehidupan sosial dan
Tuhan subjektif mampu untuk berbicara dan menentukan segala hal berkaitan tentang
nilai-nilai kehidupan.[27]
Nilai-nilai tersebut kemudian di aplikasikan lewat perumusan aturan yang
didasarkan pada diri manusia tadi sebagai wujud Tuhan yang subjektif. Pandangan
ini diperkuat dengan pendapat beberapa tokoh seperti H.G.Wells, Like Webber dan
Jean Paul Sartre yang kurang lebih
mengatakan bahwa “God Shape gap human conciousness”[28]
atau dengan terjemahan bebasnya yaitu, Tuhan dalam ranah keimanan yang
dipercayai manusia telah membentuk suatu celah didalam sikap kesadaran manusia
tersebut.
Selain itu
pendapat lainnya juga mengatakan bahwa manusia dewasa ini telah memiliki sebuah
kemampuan untuk dapat mengklasifikasi, berbicara serta menarik kesimpulan
melalui hal-hal yang dialaminya serta yang dicernanya sebagai sebuah nilai
kehidupan dan dikomparasikan dengan pandangan gereja sebagai asas keimanan
mereka.
“Humanism is a
philosophy, worldview, or life stance based on naturalism-the conviction that the
universe or nature is all that exists or is real. Humanism serves, for many
humanists, some of the emotional and social functions of a religion, but
without belief in deities, transcendental beings, miracles, immortality, and
the supernatural. Humanists seek to understand the universe by using science
and its methods of critical inquiry-logical reason, empirical evidence, and
skeptical evaluation of conjectures and conclusions-to obtain reliable
knowledge. Humanists affirm that humans have the freedom to give meaning,
value, and purpose to their lives by their own independent thought, free
inquiry, and responsible, creative activity. Humanists stand for the building
of a more humane, just, compassionate, and democratic society using a pragmatic
ethics based on human reason, experience, and reliable knowledge-an ethics that
judges the consequences of human actions by the well-being of all life on
Earth.”[29]
Hal ini kemudian
menjadikan manusia tidak lagi membutuhkan Tuhan dan bahkan menolak keimanan
terhadapnya. Hal demikian merupakan salah satu wacana yang dibangun oleh
Humanis, dimana mereka menekankan sebuah gaya hidup yang positif, yang menurut
mereka merupakan pendekatan terhadap kehidupan berdasarkan pada akal dan asas
kemanusiaan bersama, mengakui kepentingan dan nilai-nilai moral bersama serta
tidak kalah pengalaman manusia itu sendiri. Hal ini senada dengan peran filsafat
dalam kehidupan, humanis juga memiliki perjuangan yang hampir sama dengan
filsafat lainnya yang ada.[30]
Manusia dipercaya
sebagai poros dan embrio terbentuknya teologi humanis. Hal ini diperkuat dengan
pendapat D.F. Strauss yang meminjam teori dialektika Hegel (dengan
menggabungkan dua hal yang kontradiksi sehingga dapat didamaikan), sehingga
Strauss mengatakan bahwa dalam pandangan teologi humanis konsep Tuhan tidaklah
mutlak ditolak, namun Tuhan tersebut telah berevolusi menjadi manusia dalam suatu
pengertian khusus. Ia mengatakan bahwa “God Became Man”, yang menguatkan
pendapat mengenai konsep Tuhan yang subjektif seperti yang telah dijelaskan
diatas.
“His coming into the
world shows that He did not originate here. Also He came in His own energi. He
had existence. He came down from heaven (John 6:38). He came forth the Farther
and came into the world (John 16:28). He came to be with men; Therefore He
became a man.”[31]
Hal yang mendasari pendapat ini adalah tujuan Strauss mendamaikan
dua hal besar yaitu para theism dan atheism, sehingga ia mencetuskan ide
mengenai Tuhan tersebut.
Dalam pandangan
lainnya, teologi humanis juga berpendapat bahwa dalam menentukan moral dan
nilai-nilai terkait kehidupan manusia didunia sudah dapat ditemukan dalam diri
manusia itu sendiri. Terkait hal ini, mereka beranggapan bahwa manusia sudah
mampu menyamakan bentuk aturan Tuhan yang objektif dengan pola pikir mereka
sebagai Tuhan yang subjektif. Dalam hal ini terdapat sebuah istilah bahwa “God
equals Man”.[32]
Melalui pendapat
humanis lainnya, terlihat bahwa Tuhan dalam pandangan mereka memang telah
mengalami pergeseran posisi dan arti. Mengutip dari salah satu buku karangan
Philip Selznick, yang mengatakan bahwa seluruh bentuk kekuasaan dan kekuatan
Tuhan telah digantikan dengan seluruh bentuk abstrak dari konsep budi luhur
manusia, sifat alam dan realitas semestas serta sisi kemanusiaan itu sendiri.[33]
Selanjutnya mengenai pandangan Humanis tentang konsep agama, dimana mereka menganggap bahwa agama hanyalah merupakan sebuah sistem kolektifitas bangsa yang memiliki kepercayaan dan keimanan terhadap agama tersebut. Agama bagi mereka bukan merupakan hasil originalitas aqidah dan metafisik seperti yang ada saat ini.[34] Sehingga manusia bisa saja meninggalkan doktrin tersebut dan menggantinya dengan paham yang lebih bersifat kemanusiaan menurut mereka.
DAFTAR BACAAN
Esposito, John L. The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic World.
(New York: Oxford University Press, 1995).
Gea, Antonius Atosokhi. Antonina Panca Yuni Wulandari, Relasi Dengan
Dunia. (Jakarta: Pt Elex Media Komputindo, 2005).
HanafiAl-Yasar al-Islamî, Jurnal Islamika, (edisi 1 Juli- September 1993).
Hardiman, F.Budi. Humanisme dan sesudahnya: meninjau Ulang Gagasan Besar
tentang Manusia. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012).
Keraf, A. Sonny Etika Lingkungan Hidup.
(Jakarta: Buku Kompas, 2010).
Lenczowski, George. Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, terj. Asgar
Bixby. (Cet.I; Bandung: Sinar Baru, 1992).
Mulyo
Kadarmanto, Humanisme, Reformasi dan Pendidikan dalam Protestanisme Awal dan
Implementasinya dalam Mendidik Guru Kristen di Era Global, Bandung: STT
Bandung, 2017
Philip
Selznick, A Humanist Science; Values and Ideals in Social Inquiry,
(California: Stanford University Press, 2008
Siswanto, Joko. Sistem-Sistem Metafisika
Barat. (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1998).
Syaukani, Lutfi. Oksidentalisme: Kajian Barat setelah Kritik
Orientalisme’ dalam Ulumul Qur’an. (Vol. V, tahun 1994).
Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. (Jakarta:
Gema Insani, 2005).
Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia.
(Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2007).
Yuil, K. Assisted Suicide: The Liberal, Humanist Case Against,
(University of Sunderland, UK: Palgrave Macmillan, 2013).
Zarkasyi, Hamid Fahmy. Misykat: refleksi tentang Westernisasi,
Liberalisasi, dan Islam. (Jakarta: INSIST, MIUMI, cet.2, 2012).
[1]Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: refleksi tentang Westernisasi,
Liberalisasi, dan Islam, (Jakarta: INSIST, MIUMI, cet.2, 2012), hlm.59.
[2]A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Buku Kompas, 2010),
hlm.56.
[3]Antonius Atosokhi Gea, Antonina Panca Yuni Wulandari, Relasi Dengan
Dunia, (Jakarta: Pt Elex Media Komputindo, 2005), hlm.41.
[4]F.Budi Hardiman, Humanisme dan sesudahnya: meninjau Ulang Gagasan Besar
tentang Manusia, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm.47.
[5]Ibid
[6]Lihat K. Yuil, Assisted Suicide: The Liberal,
Humanist Case Against, (University of Sunderland, UK: Palgrave Macmillan,
2013).
[7]
Humanis merupakan sebuah aliran filsafat yang terkenal dengan konsep humansentrisnya
atau sering disebut juga antroposentris. Antroposentris sendiri memiliki paham
yang menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos (centre of cosmos).
Pada hakikatnya, pemikiran akan sentralitas manusia sebagai referensi nilai
dalam segala hal adalah pemikiran yang cukup tua yang akar-akarnya bisa
ditelusuri pada paruh kedua abad ke-5 SM, yaitu pada pemikiran Protagoras
(sekitar tahun 490-420 SM), seorang pemuka kaum Sopist. Dari filosof inilah
ditemukan suatu pernyataan bahwa manusia adalah satu-satunya standar bagi
segala sesuatu. Lihat: Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama; Tinjauan
Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2007), 51-52
[8]
Anthony B. Pinn, The End of God Talk; An American Humanist Theology,
(New York: Oxford University Press, 2012), 45
[10] Dalam
sebuah definisi terlihat bangunan wacana humanis yang menitikberatkan pada
bentuk dan pola kehidupan, pola berpikir dan aktualisasi seluruh bentuk
aspirasi manusia yang berkaitan dengan kebahagiaan hidup mereka. Humanist
take responsibility for their own morals and their own lives, and for the lives
of their communities and the world in which we live. Humanists emphasize reason
and scientific inquiry, individual
freedom and
responsibility, human values and compassion, and the need for tolerance and cooperation.
Humanists reject supernatural, authoritarian, and anti-democratic beliefs and
doctrines.
[14] Lihat
: Helena Petrovna Blavatsky, The Truth Always Mixed with Error and Hindered
by Technological Knowledge, (Philaletheians UK, 2018), 2
[15] Pippa
Norris dan Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide, (New York: Cambridge University Press, 2004), 3-5
[16] Johan
Setiawan, Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya Terhadap Ilmu
Pengetahuan, (Jurnal Filsafat, Vol. 28, No. 01, 2018), 34. Lihat juga: Amin
Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 104.
[17]
Hamid
Fahmi Zarkasyi, Misykat; Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi dan
Islam (Jakarta: INSISTS-MUIMI, 2012), 51
[18]
Mulyo
Kadarmanto, Humanisme, Reformasi dan Pendidikan dalam Protestanisme Awal dan
Implementasinya dalam Mendidik Guru Kristen di Era Global, (Bandung: STT Bandung,
2017), 277
[20]
Philip
Schaff, History of the Cristian Church: Vol. VII, Modern Christianity, The
German Reformation (Grand Rapids, MI: Christian Classics Ethernal Library,
2002), 8
[22]
Lihat:
Carlos M.N. Eire, Reformation: The Early Modern World, 1459-1650 (New
Heaven: Yale University Press, 2016)
[24] Hugo
Meynell, A Humanist Theology, (Jstor Journal Article New Blackfriars,
Vol. 44, No. 515, 1963), 205
[28] Dalam
istilah lainnya tokoh-tokoh tersebut menyebutkan bahwa “Like Webber, he
realized that science and rationality would never plug metaphysical gap”,
selain itu juga “Paul Sartre called the God Shape hole in the human consciousness”.
Lihat : Steve Mattewman et. al., Being Sociologica, (Palgrave Macmillan,
2017), 286
[33] Selain
itu Humanist mengklaim bahwa ajarannya tersebut merupakan sebuah bentuk
filsafat rasional yang dilandasi lewat pembuktian sains, terinspirasi melalui
sebuah seni dan memiliki motivasi sebuah landasan kebebasan individu dalam
hidup sosial, baik hak asasi hingga keadilan sosial. mereka menyebut bahwa
tanpa sebuah konsep theism (Tuhan) atau bentuk kepercayaan supranatural lainnya
manusia telah mampu menjadi penanggungjawab dalam membentuk konsep etika
kehidupan. Karena bagi kaum humanis sebuah ajaran agama bukanlah bersandar pada
Tuhan, melainkan diri sendiri (selfhood). Lihat: Philip Selznick, A Humanist
Science; Values and Ideals in Social Inquiry, (California: Stanford
University Press, 2008), 24. Kebebasan dari sebuah konsep supranatural
menjadikan manusia sebagai bagian natural yang mampu menghasilkan nilai-nilai
yang menjadi landasan sosial, etika dan politik.
Posting Komentar